Another Hole

Aku mencari sebuah harapan dari jenuhnya hidup. Memang sudah waktunya sesegera mungkin untuk menemukan pasangan hidup. 

Dimulai dengan keisengan, namun niat untuk beranjak ke fase baru pun sudah coba ku mantapkan.

Kemudian Dia datang dihidupku dengan lembutnya, menciptakan berbagai rasa yang tak pernah ku alami sebelumnya. Yaitu merasa dicintai dan diinginkan. Bahwa Tuhan tidak pernah mengabaikan doa kecilku ini. Rasanya ingin ku hentikan waktu saat itu, tapi sadar kalau kami belum terikat satu sama lain. Saat Aku meminta sebuah keseriusan, dia menjanjikan semuanya. Namun tak lama dari itu, bagai petir disiang bolong yang dengan sadarnya Aku tau sesuatu buruk akan datang. Dia pergi, tanpa pamit. Tidak ada penjelasan kenapa dia ingin pergi. 

Aku tak tau apa yang dipikirkannya, dengan mengabaikan semua yang telah ia janjikan dan membuang Aku begitu saja. Aku tidak tau dia tipe pria seperti apa, Aku terus berpikiran positif tentangnya. Karena Aku terlalu takut kehilangannya. Mungkin dia butuh jeda, pikirku. 

Jam menjadi hari, hari menjadi bulan. Pada akhirnya dia tak akan kembali. Aku sudah lelah menunggu dan mengharapkannya datang lagi. Disitulah Aku sadar bahwa Aku harus beranjak pergi dari bayang-bayangnya. Semua kesedihan tentangnya.

Ditengah pengaharapanku, Aku mencoba membuka hatiku lagi. Mencoba kesempatan lain. Pertama kalinya Aku menemui dia, pria yang sampai saat ini masih terbayang dalam benakku dan tak juga mau pergi. Rasanya berbeda dari yang sebelumnya. Awalnya Aku bimbang dengan perasaan itu, karena hatiku masih belum beranjak dari luka dan bayang-bayang pria yang sudah meninggalkan ku. Tapi lambat laun Aku selalu ingin berjumpa dengannya lagi. Perasaannya mulai tumbuh dengan sendirinya. Tanpa sadar, Aku nyaman dengan perasaan canggung itu. Disatu sisi, traumaku akan tersakiti lagi masih ada. 

Kami tak banyak kontak, tapi entah kenapa Aku merasa sangat mengerti perasaannya. Walau Aku terus menyangkal dan mencoba memandang sama kepada banyak pria semenjak patah hatiku sebelumnya. Sejujurnya Aku bertekad akan lebih berhati-hati dan tidak gegabah untuk kesempatan kedua itu. Tapi entah mengapa, Aku kembali dipertemukan dengan cobaan hidup yang lain. Orangtuanya belum merestui dia untuk segera menikah. Dan juga dia tidak berusaha lebih keras untuk mempertahankan Aku dalam hidupnya. Dia mempersilahkan Aku untuk pergi dengan membekaliku berbagai pertanyaan.

Sesaat Aku merasa dicintai dengan tulus, dia menyanjungku dan selalu berkata jujur padaku. Tapi apa artinya jika pada akhirnya dia mempersilahkan dan menuntunku menemui jalan keluarku dari kehidupannya. Hubungan kami baik-baik saja, tapi yang Aku yakini adalah kami sama-sama saling mengharapkan walau takdir berkata lain. Namun terkadang, Aku meragukan keyakinanku. Singkatnya, Aku takut kehilangannya. Aku takut perasaannya padaku akan memudar kemudian menghilang.

Aku tau bahwa Aku egois. Tapi, tidak bisakah takdir mempersatukan kami lagi? Banyak hal yang ingin ku katakan padanya, bahkan permintaan maaf bahwa pada awalnya Aku menjadikannya pelarianku. 

Aku tau sedari awal, jika Aku masuk terlalu dalam pada sebuah hubungan, Aku harus siap untuk kemungkinan tersakiti. Dan itu akhirnya ku rasakan lagi. Dilubang yang sama, dengan perasaan yang berbeda.

Ku rasa untuk saat ini, Aku masih belum siap memulai lagi. Karena Aku belum benar-benar pergi dari kenangan-kenangan itu. Bahwa Aku harus lari dan mencoba bangkit dengan caraku sendiri. Memulai dan menata lagi kehidupanku saat ini, mulai dari nol. Semoga semua kepedihan itu akan segera berakhir, tugasku hanya harus tetap berbaik sangka pada takdir Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Everything Happens For A Reason

About Me.

All Too Well ~