The Fate

Rindu ini menggema, sampai diujung luka. Takkan Aku berharap, dan takkan juga Aku berpaling. 

Begitulah yang gue rasakan saat ini.

Gue stuck di satu orang sekarang, ga bisa ngapa-ngapain. Gue kenal dia hampir 4 bulan lalu, pernah dekat namun masih berjarak. Iya, gue dan dia sama-sama punya tujuan serius dalam hubungan kami. Tektokan kami udah satu arah, dalam waktu singkat itu. Gue rasa dia udah bisa kenal gue sedikit demi sedikit, walau komunikasi kami melalui 'perantara' orang lain.

Dia orang yang jujur, gue akui. Dan jujur aja, gue awal mau ketemu dia karena pengen cepat move on dari masa lalu makanya gue ga berharap tinggi karena takut mengulang kembali masa lalu yang menyakitkan itu. Tapi gue sadar mengambil keputusan secepat itu punya resiko. Dan gue siap ga siap harus bisa terima resikonya, yaitu berlanjut atau tidak hubungan itu.

Setelah pertemuan pertama itu, gue ingin kepastian. Bermaksud untuk serius kali ini. Ternyata jawabannya tidak. Orang tuanya belum merestui dia untuk memulai fase pernikahan.

Tentu dengan alasan itu, gue cukup lega menerima sebuah jawaban yang sebenarnya tidak ingin gue dengar. Tapi bagaimana lagi, ini kaitannya dengan restu orang tua dan urusan pribadi keluarganya. Gue awalnya bisa menerima dan ikhlas, tapi lambat laun perasaan gue berubah. Gue mulai masuk terlalu jauh, lagi. Gue ga pandai menata perasaan gue sendiri.

Gue mulai mengharapkannya, begitu kami memiliki kesempatan kedua untuk bertemu dan berbincang. Hari berikutnya kami bertemu kembali, perasaan gue campur-aduk. Deg-degan, senang, tapi bingung juga. Gue mendengar banyak cerita tentangnya dari 'perantara' itu. Tapi, setelah itu untuk beberapa waktu kami tidak pernah bertemu lagi.

Saat itu, gue sedang kacau-kacaunya. Bila bisa diandaikan, seperti mayat hidup yang menjalani hari-hari gelapnya. Iya, gue masih dalam proses move on dari masa lalu dan gue sedang punya problem komunikasi dengan partner kerja. Saat itu, gue udah mengajukan surat pengunduran diri, dengan alasan yang cukup konyol. Yah, tapi bagaimanapun gue menutupinya dari orang lain. Pokoknya, gue kacau. Ditambah dia ngilang juga, gue jadi ga punya alasan lain untuk stay. Gue butuh orang-orang terdekat gue. Waktu gue satu bulan lagi sejak pengajuan surat pengunduran diri itu.

Sampai suatu titik, gue desperated dan rindu ingin berjumpa lalu mengobrol dengannya lagi. Meskipun kami selalu canggung. Tapi gue diberi kesempatan lain dihari-hari terakhir itu. Dua pagi, pertemuan singkat sebelum dia berangkat kerja. Yah, meskipun yang menggerakkan dia untuk menemui gue bukan karena kemauannya sendiri. Gapapa, setidaknya begitu udah cukup buat gue.

Gue menitipkan sesuatu untuknya, saat itu gue sedang diatas-atasnya. Sampai-sampai paginya pun gue masih senyam-senyum ditempat kerja. Tapi malamnya, gue dijatuhkan tanpa ampun. Iya, untuk pengalaman gue yang kedua kalinya. Gue nangis, tapi gue saat itu sedang lembur kerja. Dengan mata yang sudah berair, gue menguatkan diri agar tidak runtuh. Malam itu, gue kalut.

He's letting me go. Found someone else that could be better than him.

Are you joking, man? Gue tau kalo dia ga bermaksud seperti itu, tapi wtf, who cares dude? Kita sama-sama punya tujuan yang sama, dan perasaan yang sama. I mean, gue diminta untuk tidak menunggu dia. Gue salah mengira. Gue kira, dia mau berjuang. Berjuang sama-sama. Tapi justru dia pengen gue pergi. Yap, gue akan menuruti keinginannya. Gue kecewa, marah, kesal tapi gue harus tetap kuat.

Tiba waktunya hari pelepasan gue, hari terakhir gue dan besoknya gue akan pulang ke kampung asal. Berpamitan dengan orang-orang yang gue kenal, salah satunya 'perantara' itu. Gue diceritakan banyak hal yang akhirnya gue tau kebenaran tentangnya. Tapi, mau bagaimana lagi karena toh keputusan yang dia ambil tidak selaras dengan keadaan yang dia rasakan. Restu orang tua itu lah penghalang terbesar kami. Akhirnya, puas tidak puas gue tetap pulang dengan semua perasaan kecewa dan yah sangat mengganjal sekali.

Hampir dua bulan gue lalui dengan baik, walau sering juga memikirkannya tapi kadarnya masih normal. Masih bisa gue lupakan setelahnya. Tapi, beberapa waktu lalu, gue mendapat forwarded messages dari 'perantara' itu.

Diannya bisa lebih lama menunggu nggak kalo nggak ya gapapa.

Iya, diusahaain ini juga jadi karyawan tetap dulu.

Nanti kumpulin uang dulu.

Ambyar pertahanan gue. Begitulah yang bisa gue ungkapkan.

Sampai saat ini, gue bingung harus bagaimana. Ya Allah, yang bisa gue simpulkan adalah gue bakal tetap ambil kesempatan apapun yang bisa datang ke gue. Dia atau bukan. Gue ga bisa menunggu dia kalau dia tidak meminta langsung ke gue. Gue ga bisa, karena gue butuh kepastian. Entah dia berjuang sendirian demi gue atau bukan, gue tetap akan ambil segala kemungkinan dan kesempatan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Everything Happens For A Reason

About Me.

All Too Well ~